Manufacturing Hope 108
Oleh
Dahlan Iskan Menteri BUMN
Bintuni minggu ini sudah akan berbeda dengan Bintuni minggu lalu. Berbeda pula dengan Bintuni dua tahun silam, saat saya masih menjabat Dirut PLN. Minggu ini Bintuni adalah Bintuni yang berlistrik.
Bintuni minggu ini sudah akan berbeda dengan Bintuni minggu lalu. Berbeda pula dengan Bintuni dua tahun silam, saat saya masih menjabat Dirut PLN. Minggu ini Bintuni adalah Bintuni yang berlistrik.
Bukan lagi Bintuni yang gelap gulita, yang dari kegelapannya
itu bisa melihat gemerlap cahaya listrik LNG Tangguh di seberang laut sana.
Waktu itu saya bersafari keliling Papua dan bermalam di beberapa kota seperti
Sorong, Manokwari, Kaimana, dan Bintuni. Kota Bintuni terletak di tepi pantai
utara Teluk Bintuni. Kota ini gelap gulita karena memang tidak berlistrik. Di
sepanjang jalan yang terdengar adalah bunyi bising genset-genset kecil milik
masing-masing toko atau rumah.
Padahal kota ini adalah kota terbesar di kawasan
Teluk Bintuni. Padahal kawasan ini kaya akan minyak dan gas. Padahal di jarak
70 km dari Bintuni berdiri proyek LNG Tangguh yang gasnya menerangi kota-kota
besar di pantai timur Tiongkok.
Dari kota Bintuni malam itu saya bisa melihat
begitu terangnya gemerlap lampu di komplek LNG Tangguh. Saya langsung berpikir
bahwa ini tidak adil. Saya pun terpikir untuk mengetuk hati Tangguh agar bisa
mengalokasikan sedikit gasnya untuk Bintuni.
Lima sendok pun sudah cukup.
Begitu istilah saya waktu itu. Untuk menggambarkan tidak berartinya jumlah gas
yang diperlukan Bintuni dibanding dengan jumlah gas yang dijadikan LNG di
Tangguh.
Kalau saja permintaan "lima sendok gas" itu dikabulkan, saya
bermaksud mengalirkannya ke Bintuni melalui pipa kecil bawah laut melintasi
Teluk Bintuni. Atau menjadikannya listrik di dekat proyek LNG. Listriknya yang
diseberangkan dengan kabel listrik bawah laut. Kebetulan waktu itu PLN lagi
menggalakkan pemasangan kabel bawah laut di berbagai pulau.
Begitu kembali ke
Jakarta saya langsung menghubungi pimpinan tertinggi LNG Tangguh yang berkantor
di Jakarta. Saya kemukakan ide itu. Ternyata langsung disambut dengan baik.
Pimpinan LNG Tangguh langsung menyanggupi. Boleh dalam bentuk gas maupun
listrik. Toh memang ada sedikit kelebihan listrik di Tangguh.
Kami langsung
pilih dalam bentuk listrik saja. Tinggal bangun jaringan kabel bawah laut
sejauh 70 km. PLN sudah punya pengalaman membangunnya. Ketika proyek ini akan
dilaksanakan saya harus meninggalkan PLN. Tapi direksi PLN yang menggantikan
saya meneruskan proyek itu.
Dan minggu ini proyek itu sudah jadi. Listrik sudah
bisa mengalir ke Bintuni.
Saya membayangkan alangkah senangnya Pemkab dan
rakyat Bintuni. Dari gelap gulita menjadi yang paling terang di kawasan itu.
Semoga uji coba kabel yang sudah selesai dipasang ini tidak banyak masalah.
Agar listrik sudah bisa mengalir minggu ini.
Agar inilah Natal pertama dengan
listrik. Agar inilah Old and New pertama dengan gembira.
Kelak, bayangan saya,
jaringan kabel ini bisa diteruskan ke arah Manokwari. Semoga cita-cita ini juga
bisa diteruskan oleh direksi PLN sekarang. Dengan demikian kota-kota kecil yang
dilewati jaringan dari Bintuni ke Manokwari ini bisa ikut berlistrik.
Kabel
bawah laut yang juga dilanjutkan pembangunannya adalah kabel dari Sembakung di
daratan Kalimantan Utara menuju Pulau Nunukan dan terus ke Pulau Sebatik.
Sebelum tahun baru juga sudah selesai dipasang. Maka tidak perlu lagi genset di
Nunukan dan di Sebatik.
Bahkan Pulau Sebatik yang separonya adalah wilayah Malaysia
itu tidak perlu lagi minder di mata negara tetangga. Saya minta justru kita
harus menawarkan kelebihan listrik di Sebatik nanti untuk melistriki Sebatiknya
Malaysia.
Di Sembakung itu memang sudah lama ditemukan sumber gas. Tapi kecil
sekali. Hanya 2 mmbtud. Tidak bisa diapa-apakan. Tidak bisa juga dikirim ke
mana-mana. Maka ketika ide membawa listrik lewat kabel bawah laut itu saya
kemukakan, pemilik gasnya bersuka ria.
Sudah lama perusahaan itu kesulitan
menjual gas. Tidak ada yang mau beli. Tidak bisa dimanfaatkan. Terlalu kecil
dan terlalu jauh. Padahal biaya untuk menemukan dan menggali gas itu sangat
besar. Kini biaya itu bisa diharapkan kembali. Pelan-pelan.
Kabar baik juga
datang dari Sumatera Utara. Bukan saja krisis listrik di wilayah itu sudah berakhir,
tapi tower-tower listrik menuju pembangkit listrik besar di Pangkalan Susu juga
bisa berdiri semua.
Inilah salah satu proyek yang paling sulit untuk mengatasi
krisis listrik di Sumut. Begitu sulitnya mendirikan tiang-tiang listrik di
sepanjang jalur itu.
Setidaknya ada sembilan tower yang sulit berdiri karena
selalu digergaji orang. Ada yang sampai roboh. Ada yang harus dirobohkan karena
bahaya.
Saya jadi ingin ke Bintuni. Juga ke Nunukan. Juga ingin melihat sendiri
tower-tower yang berhasil berdiri di Pangkalan Susu itu.
Waktu di PLN saya
pernah canangkan motto "jangan mau jadi ban belakang". Nanti cepat
gundul. Mengapa ban belakang cepat gundul? Secara bergurau saya mengemukakan,
ban belakang itu cepat gundul karena mikir terus bagaimana cara bisa mengejar
ban depan! Intinya PLN harus jadi ban depan!
Jangan sampai kesibukan utamanya
terus-menerus memikirkan krisis listrik. Jadilah ban depan. Listrik harus terus
ditambah. Mengimbangi naiknya permintaan listrik dari masyarakat.
Jangan telat
menambah listrik di suatu daerah. Jangan sempat krisis lagi dan krisis lagi.
Jangan berhenti menambah listrik. Tiap hari, tiap daerah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar