Senin, 25 November 2013

Nggak Nekat, Nggak Ada Yang Bisa Diingat

(Bersama mamak dan kakak-kakak)

(Bersama abah)
(Bersama abah dan kakak-kakak)



“Kalau nggak nekat, nggak ada yang bisa diingat!” kalimat ini selalu terbayang di pikiran saya. Terdengar sedikit nakal, tapi memang kenyataannya kalau nggak nekat ya nggak dapat. Pagi itu, Minggu, 24 November 2013 saya sudah bersiap untuk bertemu teman-teman. Kemarin saya dapat kabar dari Mas Ricky Elson kalau abah mau datang ke Jogja, walaupun saya tidak tau kepastian jadi atau tidaknya, tapi saya tetap janjian ketemuan dengan teman-teman entah abah jadi datang atau tidak. Karena ketidaktahuan dan kepastian yang mendadak maka kami tidak sempat woro-woro kepada yang lain, jadi janjiannya dengan teman-teman yang biasanya saja karena yg jelas mau diajak mbonek.


Pagi itu kami ketemuan di Bunderan UGM, ada Mas Arsyad, Mas Ryo, Mas Gemuh, Mas Lukman, dan Bang Zain. Di sana kami tidak tahu harus melakukan apa, tapi kami sedikit tenang karena dapat kabar kalau abah sudah terbang menggunakan pesawat carteran. Kebingungan yang kedua muncul manakala kami baru sadar kalau tidak tahu tujuan abah ke Jogja itu kemana, setelah itu alhamdulillah kami dapat kabar kalau abah ke Madukismo.

Kami sempat ‘meringis’ bersama ketika tahu abah ke Madukismo, pasalnya Madukismo berada dekat dengan tempat tinggal kami, dan sekarang kami berada di UGM yang jaraknya jauuuh dari tempat tinggal kami. Tapi biarlah, tanpa pikir panjang kami lalu meluncur ke Madukismo dengan menggunakan tiga motor yang siap membelah jalanan Jogja pagi menjelang siang itu.

Tak lama kemudian kami sampai di perempatan ring road selatan yang dekat dengan Madukismo. Begitu belok kanan meninggalkan ring road, kami melihat barisan mobil-mobil di pinggir jalan lengkap dengan polisi yang berada di dekatnya. Kami yakin kalau itu abah, tapi biar afdhol maka bertanyalah kepada seorang polisi dan ternyata benar. Kami parkirkan motor di pinggir jalan lalu berjalan menuju tempat acara. Ternyata abah sudah mau menuju lokasi yang akan beliau kunjungi selanjutnya, tapi ada beberapa wartawan yang sengaja mencegat beliau sehingga kami punya waktu beberapa saat untuk menghirup udara Madukismo, di sana kami juga bertemu Mbak Meichy.

Karena abah dikelilingi wartawan, maka kami memilih mendatangi mamak yang berada di dalam mobil. Kami mencium tangan mamak, dengan ramahnya beliau menyapa kami dan sempat bercanda bersama. “Ayo, nanti kapan-kapan kita adakan acara bersama ya.” Kata mamak sambil ketawa-ketiwi bersama kami. Hmm, mamak tidak berubah, masih ramah seperti saat saya bertemu beberapa waktu lalu. “Ikut ke sana kan?” tanya mamak kepada kami dan kami mengiyakannya. Tak berapa lama abah memasuki mobil dan siap berangkat.

Kami mengambil motor dan mengikuti irit-iritan mobil rombongan abah. Kami tancap gas poll agar bisa mengikuti abah. Karena sempat melewati ring road, maka kami harus mengejar rombongan karena kami ambil jalur lambat. Begitu masuk di Jalan Bantul, dua motor yang dikendarai Mas Gemuh-Mas Ryo dan Mas Lukman-saya tertinggal rombongan abah, kami terkena lampu merah di perempatan Kasongan, sedangkan Mas Arsyad-abang berhasil mengikuti abah, mereka ada di depan.

Kami tidak tahu tepatnya abah akan kemana, tadi Mbak Meichy bilang ke Kasihan, tapi kok perjalanannya bukan ke Kasihan. Setelah lampu merah Kasongan dua motor kami ketinggalan jejak abah. Kami mengandalkan insting sekaligus mengikuti arahan dari Bang Jen. Tentu saja kami ngebut, walaupun sebenarnya sedikit tidak yakin bisa kekejar ketika kami selalu kecegat lampu merah sedangkan abah lancar jaya dengan patwalnya. Bukan Dahlanis kalau tidak nekat, kami tetap ngebut demi mendapat sisa-sisa jejak rombongan abah, walau akhirnya kehilangan juga.

Dalam perburuan itu sebenarnya saya merinding, sepeda motor dipacu begitu kencangnya, sampai-sampai bisa ‘glagepen’ kalau kaca helm tidak ditutup dan ditambah dengan badan seperti bertabrakan dengan angin. Saya penasaran dengan kecepatan motornya, setelah saya tengok speedometer ternyata jarum menunjukkan angka 95-100 km/jam. Gila! Ini nggak normal, biasanya saya bawa motor pol-polnya 80 km/jam, itu sudah pooool banget. Hoams ~ Tapi nggak masalah kecepatannya berapa yang penting kami bisa sampai dengan selamat.

Walaupun sempat bertanya kepada orang yang berada di pinggir jalan, kami tetap semangat untuk memburu abah. Alhamdulillah bangeeet setiap jalan yang kami ambil selalu benar walaupun ancer-ancer yang diberikan Bang Jen tidak sepenuhnya benar. Saya paham, pasti dia tidak tau daerah Bantul yang dilaluinya itu, lhawong Jogja kota saja dia tidak begitu paham. Hehe Ini contohnya, dia memberikan petunjuk, “Jalan ke barat ke Temon lewat Jalan menuju Palbapang.” Saya nahan ketawa mengartikan petunjuk darinya, Temon itu berada di Kulonprogo dan jauh dari tempat yang kami lalui, yaa bisa dikatakan ngga pas kalau untuk petunjuk menuju lokasi yg akan dituju. Alhamdulillah lagi dalam mengartikan petunjuk itu kami selalu benar.

Sudah 3 orang di tepi jalan yang kami tanyai, “Pak/Bu, apakah tadi ada mobil polisi beserta rombongan yang lewat jalan sini? Arahnya kemana?” dan mereka selalu menjawab iya disertai petunjuk arah yang sangat bermanfaat bagi kami. Dalam kebut-kebutan itu ada dua kekhawatiran yang timbul pada diri saya, pertama adalah khawatir nabark dan yang kedua adalah khawatir kehabisan bensin, karena saat saya lihat speedometer jarum hampir menunjuk huruf E yang artinya bensin sudah kritis. Saya tanya ke Mas Ryo apa bensinnya masih cukup, lalu dia menjawab cukup tapi kenyataannya kami tetap harus berhenti ke pom bensin demi kelancaran perburuan siang itu.

Saat sampai daerah Pandak, kami bingung harus kemana lagi, lalu kami meminta nama daerah tempat abah berkunjung dan tidak lama kemudian kami tahu bahwa abah berkunjung ke Batikan, Wijirejo, Pandak, Bantul. Saya tidak tahu pasnya itu dimana maka saat membeli bensin kami sekalian bertanya. Dan akhirnya setelah diberi tahu, kami sampai juga di  tempat acara berkat mobil polisi yang keluar dari gapura desa. Setelah itu kami melihat mobil berjejer-jejer, lalu kami memarkir motor dan masuk ke tempat acara. Tempatnya ada di depan rumah seorang warga, rumah itu berada tak jauh dari sawah yang sangat damai.

Mas Arsyad dan Bang Zain sudah ada di sana, mereka lebih duluan datang karena sukses mengikuti rombongan. Saat kami datang, abah sedang berfoto dengan warga yang ingin meminta foto. Dan seperti biasa, abah mencomot anak kecil lalu digendongnya. Anak kecil itu tidak menangis, dia lalu dibawa ke depan ke tempat sarasehan itu. Ternyata di sana juga ada bapak WaBup Bantul dan sudah banyak warga yang duduk menanti kedatangan abah.

Acaranya sarasehan kelompok tani (tulisan di backdrop sih gitu), sebelum acara inti dimulai Pak Marno (WaBup Bantul) memberikan sambutan yang disertai pantun-pantun pembangun semangat, intinya ada demi Indonesia gitu deh.Keren sih pantunnya tapi karena gak fokus memperhatikan jadinya saya lupa pantunnya bagaimana. Sepertinya Pak Marno memang hobi berpantun, dulu saat Habib Syech manggung di Bantul beliau juga berpantun ria.

Karena tempat sarasehannya penuh, kami berinisiatif menghampiri mamak yang berada di sebuah tenda yang didirikan di kebun dekat tempat sarasehan. Lagi-lagi kami bercanda dengan mamak dan kami meminta foto bersama, foto di bawah pohon pisang! Hehe Setelah itu kami merapat lagi ke tempat sarasehan untuk menyimak perbincangan abah dengan para warga. Tampak abah sangat bersahaja dan dekat dengan masyarakat saat berdialog bersama. Warga tampak antusias dan bersemangat menyimak saat abah berbicara. Setelah beberapa lama berdialog, abah harus meninggalkan desa Batikan itu. Sebelum beliau pergi, seperti biasa dari mulai anak kecil hingga emak-emak maupun bapak-bapak berebut foto dengan abah. Tak ketinggalan kamipun juga berfoto bersama.

Saat abah akan turun dari ‘panggung’, Pak Faisal berjalan ke arah kami lalu dengan ramahnya menyapa dan kami berjabat tangan dengan beliau. “Wuiih hebat, sampai sini juga.” Katanya dengan senyum yang menurut saya khas. Hehe Logat bicaranya seperti saat kami bertemu di balaikota dulu. Tak berapa lama kemudian abah menuju tempat di mana mamak duduk lalu masuk rumah yang telah disediakan untuk makan siang.

Tapi ternyata abah masuk sebentar, mengambil makan lalu keluar mambawa sepiring nasi yang menggunung beserta lauk-pauknya lalu piring tersebut dibawa ke dalam mobil. Yak, abah memanfaatkan perjalanan menuju bandara untuk makan siang, siang itu setelah dari Batikan abah harus terbang ke Surabaya untuk menghadiri kegiatan di Jembatan Merah. Saat sudah berada di dalam mobilpun masih saja ada yang mendekati abah serta meminta foto. Sebelum berangkat, abah diberi minuman tradisional *lupa bahannya apa*oleh warga dengan menggunakan botol poqari sweat yang besar

 Saya nunggu keberangkatan abah di depan pintu mobil beliau, saya mencium tangan beliaun dan seperti biasa, pasang muka nggak percaya kalau ketemu lalu abah menunjuk saya dengan telunjuknya sambil tersenyum. Muehehe Lalu abah dan rombonganpun meninggalkan lokasi dan kami berenam juga pulang menuju rumah masing-masing dengan kebahagiaan yang penuh sesak di dada. 

Yang jelas, sudah tidak lagi dengan kecepatan 100km/jam. Kami lebih santai, menikmati perjalanan sambil meluapkan kebahagiaan. Benar-benar sejuk! Sejuk hati sejuk suasana, karena memang kami pulang melintasi hamparan persawahan yang hijau nan menyejukkan. Beeeh, senangnya. Benar-benar pengalaman yang wow. Dalam hidup saya, diboncengin pake motor dengan kecepatan 100km/jam baru 2x saya rasakan, tapi kalau ngebutnya ya udah sering. Muehehe. Benar-benar momen yang ngga terlupakan! Terimakasih semuanya. Alhamdulillah banget

Tidak ada komentar:

Posting Komentar