(Bersama mamak dan kakak-kakak)
(Bersama abah)
(Bersama abah dan kakak-kakak)
“Kalau nggak nekat, nggak ada yang bisa diingat!” kalimat
ini selalu terbayang di pikiran saya. Terdengar sedikit nakal, tapi memang
kenyataannya kalau nggak nekat ya nggak dapat. Pagi itu, Minggu, 24 November
2013 saya sudah bersiap untuk bertemu teman-teman. Kemarin saya dapat kabar dari Mas Ricky Elson kalau abah mau datang ke
Jogja, walaupun saya tidak tau kepastian jadi atau tidaknya, tapi saya tetap
janjian ketemuan dengan teman-teman entah abah jadi datang atau tidak. Karena
ketidaktahuan dan kepastian yang mendadak maka kami tidak sempat woro-woro
kepada yang lain, jadi janjiannya dengan teman-teman yang biasanya saja karena
yg jelas mau diajak mbonek.
Pagi itu kami
ketemuan di Bunderan UGM, ada Mas Arsyad, Mas Ryo, Mas Gemuh, Mas Lukman, dan
Bang Zain. Di sana kami tidak tahu harus melakukan apa, tapi kami sedikit
tenang karena dapat kabar kalau abah sudah terbang menggunakan pesawat
carteran. Kebingungan yang kedua muncul manakala kami baru sadar kalau tidak
tahu tujuan abah ke Jogja itu kemana, setelah itu alhamdulillah kami dapat
kabar kalau abah ke Madukismo.
Kami sempat ‘meringis’ bersama ketika tahu abah ke
Madukismo, pasalnya Madukismo berada dekat dengan tempat tinggal kami, dan
sekarang kami berada di UGM yang jaraknya jauuuh dari tempat tinggal kami. Tapi
biarlah, tanpa pikir panjang kami lalu meluncur ke Madukismo dengan menggunakan
tiga motor yang siap membelah jalanan Jogja pagi menjelang siang itu.
Tak lama kemudian kami sampai di perempatan ring road
selatan yang dekat dengan Madukismo. Begitu belok kanan meninggalkan ring road,
kami melihat barisan mobil-mobil di pinggir jalan lengkap dengan polisi yang
berada di dekatnya. Kami yakin kalau itu abah, tapi biar afdhol maka
bertanyalah kepada seorang polisi dan ternyata benar. Kami parkirkan motor di
pinggir jalan lalu berjalan menuju tempat acara. Ternyata abah sudah mau menuju
lokasi yang akan beliau kunjungi selanjutnya, tapi ada beberapa wartawan yang
sengaja mencegat beliau sehingga kami punya waktu beberapa saat untuk menghirup
udara Madukismo, di sana kami juga bertemu Mbak Meichy.
Karena abah dikelilingi wartawan, maka kami memilih
mendatangi mamak yang berada di dalam mobil. Kami mencium tangan mamak, dengan
ramahnya beliau menyapa kami dan sempat bercanda bersama. “Ayo, nanti
kapan-kapan kita adakan acara bersama ya.” Kata mamak sambil ketawa-ketiwi
bersama kami. Hmm, mamak tidak berubah, masih ramah seperti saat saya bertemu
beberapa waktu lalu. “Ikut ke sana kan?” tanya mamak kepada kami dan kami
mengiyakannya. Tak berapa lama abah memasuki mobil dan siap berangkat.
Kami mengambil motor dan mengikuti irit-iritan mobil
rombongan abah. Kami tancap gas poll agar bisa mengikuti abah. Karena sempat
melewati ring road, maka kami harus mengejar rombongan karena kami ambil jalur
lambat. Begitu masuk di Jalan Bantul, dua motor yang dikendarai Mas Gemuh-Mas
Ryo dan Mas Lukman-saya tertinggal rombongan abah, kami terkena lampu merah di
perempatan Kasongan, sedangkan Mas Arsyad-abang berhasil mengikuti abah, mereka
ada di depan.
Kami tidak tahu tepatnya abah akan kemana, tadi Mbak Meichy
bilang ke Kasihan, tapi kok perjalanannya bukan ke Kasihan. Setelah lampu merah
Kasongan dua motor kami ketinggalan jejak abah. Kami mengandalkan insting
sekaligus mengikuti arahan dari Bang Jen. Tentu saja kami ngebut, walaupun
sebenarnya sedikit tidak yakin bisa kekejar ketika kami selalu kecegat lampu
merah sedangkan abah lancar jaya dengan patwalnya. Bukan Dahlanis kalau tidak
nekat, kami tetap ngebut demi mendapat sisa-sisa jejak rombongan abah, walau
akhirnya kehilangan juga.
Dalam perburuan itu sebenarnya saya merinding, sepeda motor
dipacu begitu kencangnya, sampai-sampai bisa ‘glagepen’ kalau kaca helm tidak
ditutup dan ditambah dengan badan seperti bertabrakan dengan angin. Saya
penasaran dengan kecepatan motornya, setelah saya tengok speedometer ternyata
jarum menunjukkan angka 95-100 km/jam. Gila! Ini nggak normal, biasanya saya
bawa motor pol-polnya 80 km/jam, itu sudah pooool banget. Hoams ~ Tapi nggak
masalah kecepatannya berapa yang penting kami bisa sampai dengan selamat.
Walaupun sempat bertanya kepada orang yang berada di pinggir
jalan, kami tetap semangat untuk memburu abah. Alhamdulillah bangeeet setiap
jalan yang kami ambil selalu benar walaupun ancer-ancer yang diberikan Bang Jen
tidak sepenuhnya benar. Saya paham, pasti dia tidak tau daerah Bantul yang
dilaluinya itu, lhawong Jogja kota saja dia tidak begitu paham. Hehe Ini
contohnya, dia memberikan petunjuk, “Jalan ke barat ke Temon lewat Jalan menuju
Palbapang.” Saya nahan ketawa mengartikan petunjuk darinya, Temon itu berada di
Kulonprogo dan jauh dari tempat yang kami lalui, yaa bisa dikatakan ngga pas
kalau untuk petunjuk menuju lokasi yg akan dituju. Alhamdulillah lagi dalam
mengartikan petunjuk itu kami selalu benar.
Sudah 3 orang di tepi jalan yang kami tanyai, “Pak/Bu,
apakah tadi ada mobil polisi beserta rombongan yang lewat jalan sini? Arahnya
kemana?” dan mereka selalu menjawab iya disertai petunjuk arah yang sangat
bermanfaat bagi kami. Dalam kebut-kebutan itu ada dua kekhawatiran yang timbul
pada diri saya, pertama adalah khawatir nabark dan yang kedua adalah khawatir
kehabisan bensin, karena saat saya lihat speedometer jarum hampir menunjuk
huruf E yang artinya bensin sudah kritis. Saya tanya ke Mas Ryo apa bensinnya
masih cukup, lalu dia menjawab cukup tapi kenyataannya kami tetap harus
berhenti ke pom bensin demi kelancaran perburuan siang itu.
Saat sampai daerah Pandak, kami bingung harus kemana lagi,
lalu kami meminta nama daerah tempat abah berkunjung dan tidak lama kemudian
kami tahu bahwa abah berkunjung ke Batikan, Wijirejo, Pandak, Bantul. Saya
tidak tahu pasnya itu dimana maka saat membeli bensin kami sekalian bertanya.
Dan akhirnya setelah diberi tahu, kami sampai juga di tempat acara berkat mobil polisi yang keluar
dari gapura desa. Setelah itu kami melihat mobil berjejer-jejer, lalu kami
memarkir motor dan masuk ke tempat acara. Tempatnya ada di depan rumah seorang
warga, rumah itu berada tak jauh dari sawah yang sangat damai.
Mas Arsyad dan Bang Zain sudah ada di sana, mereka lebih
duluan datang karena sukses mengikuti rombongan. Saat kami datang, abah sedang
berfoto dengan warga yang ingin meminta foto. Dan seperti biasa, abah mencomot
anak kecil lalu digendongnya. Anak kecil itu tidak menangis, dia lalu dibawa ke
depan ke tempat sarasehan itu. Ternyata di sana juga ada bapak WaBup Bantul dan
sudah banyak warga yang duduk menanti kedatangan abah.
Acaranya sarasehan kelompok tani (tulisan di backdrop sih
gitu), sebelum acara inti dimulai Pak Marno (WaBup Bantul) memberikan sambutan
yang disertai pantun-pantun pembangun semangat, intinya ada demi Indonesia gitu
deh.Keren sih pantunnya tapi karena gak fokus memperhatikan jadinya saya lupa
pantunnya bagaimana. Sepertinya Pak Marno memang hobi berpantun, dulu saat
Habib Syech manggung di Bantul beliau juga berpantun ria.
Karena tempat sarasehannya penuh, kami berinisiatif
menghampiri mamak yang berada di sebuah tenda yang didirikan di kebun dekat
tempat sarasehan. Lagi-lagi kami bercanda dengan mamak dan kami meminta foto
bersama, foto di bawah pohon pisang! Hehe Setelah itu kami merapat lagi ke
tempat sarasehan untuk menyimak perbincangan abah dengan para warga. Tampak
abah sangat bersahaja dan dekat dengan masyarakat saat berdialog bersama. Warga
tampak antusias dan bersemangat menyimak saat abah berbicara. Setelah beberapa
lama berdialog, abah harus meninggalkan desa Batikan itu. Sebelum beliau pergi,
seperti biasa dari mulai anak kecil hingga emak-emak maupun bapak-bapak berebut
foto dengan abah. Tak ketinggalan kamipun juga berfoto bersama.
Saat abah akan turun dari ‘panggung’, Pak Faisal berjalan ke
arah kami lalu dengan ramahnya menyapa dan kami berjabat tangan dengan beliau.
“Wuiih hebat, sampai sini juga.” Katanya dengan senyum yang menurut saya khas.
Hehe Logat bicaranya seperti saat kami bertemu di balaikota dulu. Tak berapa
lama kemudian abah menuju tempat di mana mamak duduk lalu masuk rumah yang
telah disediakan untuk makan siang.
Tapi ternyata abah masuk sebentar, mengambil makan lalu
keluar mambawa sepiring nasi yang menggunung beserta lauk-pauknya lalu piring
tersebut dibawa ke dalam mobil. Yak, abah memanfaatkan perjalanan menuju
bandara untuk makan siang, siang itu setelah dari Batikan abah harus terbang ke
Surabaya untuk menghadiri kegiatan di Jembatan Merah. Saat sudah berada di
dalam mobilpun masih saja ada yang mendekati abah serta meminta foto. Sebelum
berangkat, abah diberi minuman tradisional *lupa bahannya apa*oleh warga dengan
menggunakan botol poqari sweat yang besar
Saya nunggu keberangkatan abah di
depan pintu mobil beliau, saya mencium tangan beliaun dan seperti biasa, pasang
muka nggak percaya kalau ketemu lalu abah menunjuk saya dengan telunjuknya
sambil tersenyum. Muehehe Lalu abah dan rombonganpun meninggalkan lokasi dan
kami berenam juga pulang menuju rumah masing-masing dengan kebahagiaan yang
penuh sesak di dada.
Yang jelas, sudah tidak lagi dengan kecepatan 100km/jam.
Kami lebih santai, menikmati perjalanan sambil meluapkan kebahagiaan. Benar-benar
sejuk! Sejuk hati sejuk suasana, karena memang kami pulang melintasi hamparan
persawahan yang hijau nan menyejukkan. Beeeh, senangnya. Benar-benar pengalaman
yang wow. Dalam hidup saya, diboncengin pake motor dengan kecepatan 100km/jam
baru 2x saya rasakan, tapi kalau ngebutnya ya udah sering. Muehehe. Benar-benar
momen yang ngga terlupakan! Terimakasih semuanya. Alhamdulillah banget
Tidak ada komentar:
Posting Komentar