KH. Abdurrahman Wahid atau yang
biasa dikenal dengan panggilan “Gus Dur” adalah anak pertama dari enam
bersaudara. Gus adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak
kiai yang berarti “abang atau mas”. Beliau lahir dari keluarga yang cukup
terhormat. Ayahnya adalah KH. Wahid Hasyim dan ibunya adalah Ny. Hj. Sholehah. Kakek
dari ayahnya, K.H. Hasyim Asyari, merupakan pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Sementara
itu kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, juga merupakan salah satu tokoh
pendiri NU. Gus Dur juga memiliki pertalian dengan Sultan Pajang, Hadiwijaya
atau dikenal sebagai Jaka Tingkir.
Gus Dur adalah tokoh tanpa batas.
Tidak hanya dikenal sebagai seorang kyai, Gus Dur juga dikenal seorang
budayawan, seorang cendekiawan, seorang negarawan. Dur adalah seorang tokoh
yang multidimensi. Gus Dur yang dikenal banyak orang sebagai sosok yang
multidimensi tersebut tidak terlepas dari perjalanan hidupnya semasa kecil,
remaja, hingga masa tuanya.
Saat kecil
Gus Dur diasuh oleh orang tuanya. Meski terlahir sebagai keturunan kyai, Gus
Dur tumbuh seperti anak-anak seusianya, bahkan menurut cerita, Gus Dur kecil
bisa dibilang nyeleneh dan nakal.
Pada saat SD, sudah dua kali Gus Dur terjatuh dari pohon. Pengalaman ini bisa
dikatakan hampir tak berpengaruh terhadap dirinya karena Gus Dur kecil selalu
bertindak impulsif dan kurang berhati-hati. Di balik tingkah nakalnya itu, Gus
Dur kecil juga dikenal sebagai pecandu buku. Dalam
kesehariannya, Gus Dur mempunyai kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan
perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu beliau juga aktif berkunjung ke perpustakaan
umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun Gus Dur telah akrab dengan berbagai
majalah, surat kabar, novel, dan buku-buku yang agak serius. Karya-karya yang
dibaca oleh Gus Dur tidak hanya cerita-cerita saja, akan tetapi wacana tentang
filsafat dan dokumen-dokumen mancanegara tidak luput dari perhatianya. Di
samping membaca, Gus Dur senang pula bermain bola dan menyukai musik.
Selain
kegemaran membaca buku sejak kecil, ada hal lain yang mempengaruhi perjalanan
sosok Gus Dur. Ketika ayahnya diangkat sebagai Menteri Agama pertama, keluarga
Wahid Hasyim pindah ke Jakarta. Dengan demikian suasana baru telah dimasukinya.
Tamu-tamu yang terdiri dari para tokoh-dengan berbagai bidang profesi, yang
sebelumnya telah dijumpai di rumah kakeknya, terus berlanjut ketika ayahnya
menjadi Menteri Agama. Hal ini memberikan pengalaman tersendiri bagi seorang
Gus Dur. Secara tidak langsung, Gus Dur juga mulai berkenalan dengan dunia
politik yang didengar dari kolega ayahnya yang sering bertamu ke rumahnya.
Semasa kecil
pula, secara tidak langsung Gus Dur telah dikenalkan dengan perbedaan. Pada
masa SD, beliau sempat mengenyam pendidikan di sebuah SD milik yayasan Katolik
sebelum akhirnya pindah ke SD biasa di Jakarta. Pengalaman-pengalaman di masa
kecil inilah yang juga menyumbangkan pengaruh bagi hidup Gus Dur nantinya. Saat
masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, beliau sudah melahap beberapa
buku bahasa Inggris, di antaranya adalah Das Kapital karya Karl Marx dan buku
filsafat Plato. Sungguh luar biasa, orang seusia Gus Dur pada masa itu telah
melahap bacaan-bacaan yang memiliki bobot. Menjelang kelulusannya di Sekolah
Dasar, Gus Dur memenangkan lomba karya tulis se-wilayah kota Jakarta dan
menerima hadiah dari pemerintah. Pengalaman ini menjelaskan bahwa Gus Dur telah
mampu menuangkan gagasan/ide-idenya dalam sebuah tulisan. Karenanya wajar jika
pada masa kemudian tulisan-tulisan Gus Dur menghiasai berbagai media massa.
Gus Dur
melanjutkan pendidikannya di SMP dan pernah tidak naik kelas. Menurut cerita,
beliau mengaku kehilangan gairah sekolah karena tidak mendapat teman yang
mengerti pikirannya. Akibatnya, Gus Dur sering membolos dan
memilih pergi ke perpustakaan serta menonton film di bioskop. Bahkan sering
kali beliau lebih memilih sepak bola
ketimbang sekolah. Walhasil, Gus Dur tidak naik kelas.
Ibunya lalu
mengirim Gus Dur ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikannya
dengan mengaji kepada Kiai Ali Maksum di Pondok Pesantren Krapyak dan belajar
di SMEP. Di sekolah ini
pula pertama kali Gus Dur belajar Bahasa Inggris. Karena merasa terkekang hidup
dalam dunia pesantren, akhirnya beliau minta pindah ke kota dan tinggal di
rumah Haji Junaidi, seorang pimpinan lokal Muhammadiyah yang merupakan sahabat
ayahnya. Kegiatan rutinnya, setelah shalat subuh mengaji pada K.H. Ma’shum
Krapyak, siang hari sekolah di SMEP, dan pada malam hari beliau ikut berdiskusi
bersama dengan Haji Junaidi dan anggota Muhammadiyah lainnya. Ketika menjadi
siswa sekolah lanjutan pertama tersebut, hobi membacanya semakin mendapatkan
tempat. Gus Dur didorong oleh gurunya untuk menguasai bahasa Inggris, maka tidak
heran jika pada masa sekolah Gus Dur telah melahap buku-buku berbahasa Inggris.
Setamat
dari SMEP Gus Dur melanjutkan belajarnya di Pesantren Tegarejo Magelang Jawa
Tengah. Pesantren ini diasuh oleh K.H. Chudlari, sosok kyai yang humanis. Kyai
Chudhari inilah yang memperkenalkan Gus Dur dengan ritus-ritus sufi. Di bawah
bimbingan kyai ini pula, Gus Dur mulai mengadakan ziarah ke kuburan-kuburan
keramat para wali di Jawa. Pada saat masuk ke pesantren ini, Gus Dur membawa
seluruh koleksi buku-bukunya, yang membuat santri-santri lain terheran-heran.
Pada saat ini pula Gus Dur telah mampu menunjukkan kemampuannya dalam berhumor
dan berbicara. Ada sebuah kisah menarik yang patut diungkap dalam paparan ini
adalah pada acara imtihan akbar yang diselenggarakan saat perpisahan santri yang
selesai menamatkan belajar dengan mendatangkan semua hiburan rakyat, seperti gamelan,
tarian tradisional, kuda lumping, jathilan, dan sebagainya. Jelas,
hiburan-hiburan seperti ini sangat tabu bagi dunia pesantren pada umumnya.
Mengenai pendidikan di luar
negeri, Gus Dur menerima beasiswa dari Departemen Agama untuk belajar di
Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, namun tidak menyelesaikannya karena
kekritisan pikirannya. Gus Dur lalu belajar di Universitas Baghdad. Menebus
kelalaiannya di masa lalu, Gus Dur terbilang sukses di universitas barunya ini.
Kemudian beliau pergi ke Belanda untuk meneruskan pendidikannya di Universitas
Leiden, tetapi sayang sekali keinginan itu harus dikubur karena pendidikan di
Universitas Baghdad tidak diakui oleh universitas tersebut. Gus Dur lalu pergi
ke Jerman dan Prancis sebelum kembali ke Indonesia pada 1971. Gus Dur kembali
ke Jakarta dan bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan
Ekonomi dan Sosial (LP3ES), organisasi yg terdiri dari kaum intelektual muslim
progresif dan sosial demokrat.
Dari uraian
perjalanan singkat Gus Dur, beliau memang dikenal sebagai seorang tokoh yang
nyeleneh dan unik. Kadang-kadang pernyataannya lucu, kadang membingungkan, dan
penuh tanda tanya. Tetapi memang begitulah Gus Dur, seorang yang apa adanya dan
terbuka. Keterbukaannya inilah yang menjadi kekuatan bagi Gus Dur. Pernyataan-pernyataannnya
kontroversial. Sepanjang pemerintahan presiden Soeharto, tidak ada seseorang
pun yang berani mengkritiknya selain Gus Dur. Gus Dur memiliki jalan pikir yang
luar biasa, beliau selalu menempatkan diri berada di posisi yang ideal. Yang
tak kalah menarik adalah taktik tarik-ulur Gus Dur dalam menghadapi
pemerintahan Orde Baru yang otoriter.
Saya salut
dengan strateginya yang bisa dikatakan, menjadi maju jika ada kesempatan, mundur
bila menghapi tekanan. Gus Dur ini ahli strategi yang hebat. Beliau selalu
menghindari kekerasan dan mengutamakan dialog serta toleransi, entah bagaimana
caranya namun Gus Dur selalu berhasil mengatasi kesulitan-kesulitan yang
dihadapinya dengan mengedepankan keadilan dan tanpa kekerasan. Sungguh luar
biasa. Sikap-sikap Gus Dur yang luar biasa ini tidak terlepas dari perjalanan
hidupnya semasa kecil hingga dewasa. Pengaruh-pengaruh dari lingkungan membuat
Gus Dur tumbuh menjadi sosok yang unggul dan luar biasa seperti yang kita
ketahui. Keunggulan pribadi dan kehebatan aksi Gus Dur tersebut yang juga
mengantarkan beliau menjadi pembesar Nahdlatul Ulama dan karier yang gemilang
di dunia politik yang pada akhirnya bisa mengantarkan beliau menjadi seorang
Presiden RI dari kalangan santri.
Gus Dur
dikenal memiliki sifat toleran, pengayom, dan memiliki nilai humanisme yang
tinggi. Semua itu terbentuk dari perjalanan hidupnya yang melintasi beberapa
model lapisan budaya, perpaduan antara dunia pesantren, dunia timur, dan dunia
barat semuanya tampak masuk dalam pribadi beliau dan membentuk sinergi sehingga
menjadikan sosok Gus Dur yang dirindukan banyak orang. Maka tak heran jika Gus
Dur merupakan sosok yang memiliki pemikiran luas, dinamis, dan out of the box.
Meski banyak
yang mengagumi beliau karena setiap pemikiran beliau sifatnya
selalu empati dan toleransi terhadap orang lain, selain itu selalu
mengedepankan persatuan dan tak lupa memperhatikan perlindungan terhadap kaum
minoritas ataupun kaum lemah, ada saja orang-orang yang tidak suka dengan Gus
Dur beserta jalan pemikirannya. Hal ini bukan karena Gus Dur itu aneh tetapi
menurut saya lebih pada orang-orang belum siap menerima pemikiran-pemikiran Gus
Dur. Dari mengetahui biografi Gus Dur, tidak cukup menilai beliau dengan sebutan
sosok nasionalis, agamis, dan sebutan luar biasa lainnya. Gus Dur adalah sosok
yang hebat, lebih dari hebat, yang pemikirannya masih tetap relevan seiring
berjalannya waktu dengan berbagai permasalahan kehidupan dan kemanusiaan yang
ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar