Selasa, 15 Oktober 2013

Bertemu Konglomerat di Gudeg Djuminten




Sebenarnya saya hanya berencana setengah hari saja di Jogja. Pagi-pagi tiba, lalu sorenya harus ke Jakarta. Malam itu saya punya janji bertemu dengan orang yang amat penting di Jakarta. Karena itu saya tidak membawa tas, hanya pakai baju ala kadarnya dan sepatu kets yang lama.
Tapi begitu tiba di Jogja, saya diberitahu bahwa saya tidak boleh meninggalkan Jogja. Sore itu saya harus memimpin teman-teman pengusaha besar yang datang dari seluruh Indonesia untuk bertemu Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Malamnya juga harus menghadiri acara napak tilas jejak peradaban umat Budha di Borobudur.

“Saya harus ke Jakarta. Amat penting,” kata saya.
“Tidak bisa. Ini sudah aklamasi bahwa Anda yang harus memimpin pertemuan nanti,” ujar Murdaya Poo, konglomerat yang dikenal tidak pernah punya utang itu.
“Saya tidak bawa baju,” sergah saya.


“Saya ambilkan. Saya punya perusahaan batik,” ujar Suryadi Suryadinata, pemilik batik Surya Malioboro, Jogja. Tanpa tunggu komentar saya, dia langsung melesat. Balik-balik dia sudah membawa dua batik untuk saya pilih.
“Saya tidak bawa sepatu,” kata saya.
“Semua orang sudah tahu Anda tidak punya sepatu kecuali kets,” gurau pengusaha kimia besar dari Jakarta.

Pokoknya, saya takluk deh. Tiket ke Jakarta harus saya batalkan. Pertemuan dengan orang yang amat penting itu juga harus saya tunda.
Siang itu saya memang makan siang di warung gudeg Djuminten di Jalan Asem Gede, Jogja. Warung penuh sesak dengan para pengusaha besar yang siang itu banyak yang makan secara santai. Kontan persediaan gudeg ludes. Saya yang mau tambah ayam saja tidak kebagian. Di situ berkumpul tokoh-tokoh Tionghoa Jogja, Semarang, Solo, Jakarta dan Surabaya. Terlihat juga pemilik jaringan mal Sri Ratu dan para pengurus paguyuban marga Hakka.

Sore itu dialog dengan presiden berlangsung satu jam. Sekitar 200 pengusaha hadir. Presiden disertai ibu negara, menteri agama, menteri sekab dan panglima ABRI. Pengusaha penanyakan soal pembangunan infrastruktur, kelancaran penyaluran pupuk untuk petani dan kelancaran distribusi BBM. Presiden menjelaskan banyak hal yang telah dilakukan dan yang akan dilakukan. Ketua Umum Walubi (Perwalian Umat Budha Indoensia), Hartati Murdaya Poo menyampaikan keinginan pengusaha agar keamanan dan kehidupan sosial bisa stabil seperti selama ini.

Sebetulnya tidak semua yang hadir sore itu umat Budha. Saya lihat ada juga yang Katolik dan Kristen. Maka kepada presiden saya memperkenalkan mereka secara bergurau. “Yang hadir di sini adalah ada yang Budha asli, ada yang budha Katolik dan budha Kristen. Juga ada satu yang budh-is, budha Islam, seperti saya,” kata saya yang disambut tertawa semua yang hadir.

Saya harus angkat topi pada Hartati Murdaya. Ketika banyak pengusaha kembali ke Hyatt Hotel, Hartati tidak kelihatan batang hidungnya. Tengah malam itu dia memimpin teman-temannya sembahyangan di Borobudur sampai larut malam. Bahkan ketika yang lain-lain balik ke hotel Hartati juga tidak kelihatan. Ternyata pengusaha besar itu memilih tidur di kamar wihara di Mendut. “Setiap ke daerah, beliau memang memilih tidur di wihara,” ujar Melinda Tedja pengusaha besar yang juga besan Hartati. “Saya belum bisa seperti beliau, tinggal di tempat yang begitu sederhana,” tambahnya.Tiga hari lamanya Hartati tinggal di wihara. Maklum dia juga harus memimpin bakti sosial umat Budha terhadap 10.000 warga di sekitar 
Borobudur. Saya sempat berkunjung ke wihara itu untuk melihat kamar Hartati yang begitu sederhana dan bersuasana amat desa. Saya juga melihat persiapan dapur umum yang sedang memasang untuk ribuan orang.

( Catatan Dahlan Iskan )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar